II. TINJAUAN PUSTAKA
Dahuri (2003) menyatakan bahwa
ekosistem laut di pandang dari dimensi vertikal dan horizontal, dapat dibagi
menjadi 2 yakni laut pesisir (zona neritik) yang meliputi paparan benua, dan
laut lepas (lautan/zona oseanik).
Permintakatan atau zonasi (zonation)
perairan laut dapat pula dilakukan atas dasar faktor-faktor fisik dan
penyebaran komunitas biotanya. Seluruh
perairan laut terbuka disebut sebagai daerah pelagis. Organisme pelagis adalah
organisme yang hidup di laut terbuka dan lepas dari dasar laut. Dalam pada itu, zona dasar laut beserta
organismenya disebut organisme benthos.
Bengen (2001), menyatakan
terdapat suatu kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu
wilayah peralihan antara daratan dan laut. Apabila ditinjau dari garis pantai
(coastline), maka suatu kawasan wilayah pesisir memiliki dua kategori batas
(boundaris), yaitu batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang
tegak lurus terhadap garis pantai (crosshore). Wilayah pesisir yang lebih
dikenal dengan pantai merupkan daerah dimana terjadi interaksi antara tiga
unsur yaitu: daratan, lautan dan atmosfer. Proses interaksi ini berlangsung
sejak bumi ini terbentuk dan bentuk wilayah pantai seperti yang terlihat
sekarang ini merupakan hasil keseimbangan dinamis proses penghancuran tiga
unsur utama alam tersebut (Pariwono, 1992).
Ekosistem
pesisir merupakan ekosistem yang dinamis
dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta
saling interaksi antara habitat tersebut (Nybakken,1982). Maka untuk kepentingan pengelolaan penetapan
batas-batas suatu wilayah pesisir didasarkan atas faktor-faktor yang
mempengaruhi pembangunan (pemanfaatan) dan pengelolaan ekosistem pesisir serta
lautan beserta segenap sumberdaya yang tercakup di dalamnya, serta tujuan dari
pengelolaan itu sendiri (Dahuri 2003).
Pembangunan perikanan pada dasarnya
merupakan proses dari upaya manusia untuk memanfaatkan proses sumberdaya hayati
perikanan dan sumberdaya perairan melalui penangkapan dan budidaya. Kegiatan
lain yang juga berkaitan adalah peningkatan devisa negara dengan upaya-upaya
pemeliharaan dan pelestarian sumberdaya hayati serta lingkungan. Secara alami
juga merupakan hal yang penting dalam pembangunan perikanan ( Malik, 1998).
Potensi perikanan dan kelautan
Indonesia yang menjanjikan bukanlah suatu yang mustahil, mengembangkannya
menjadi sumber devisa utama Indonesia di masa mendatang. Permasalahan dalam
pengembangan perikanan dan kelautan diantaranya kondisi geografis, sarana dan
prasarana, aktualisasi pemanfaatan tidak merata dan tidak seimbang, komitmen
pemerintah, kualitas sumberdaya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah
utama perikanan sekarang ini adalah penambangan pasir, dan masuknya
kapal asing tanpa izin, yang membuat potensinya berkurang dan bahkan berbahaya
pada daerah-daerah tertentu (Feliatra, 2004).
Ahmad (1996) menyatakan bahwa perikanan adalah suatu usaha ekonomi yang
tercakup dalam subsektor perikanan dengan mendayagunakan potensi sumberdaya
perairan, tenaga kerja, dan modal. Peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan
semakin meningkatnya kebutuhan akan protein baik protein nabati maupun protein
hewani. Produk perikanan sebagai salah satu sumber pemenuhan kebutuhan protein
yang merupakan protein penyumbang lebih banyak dari semua jumlah protein yang
dikonsumsi oleh manusia.
Pembangunan
perikanan pada dasarnya merupakan proses dari upaya manusia untuk memanfaatkan
proses sumberdaya hayati perikanan dan sunberdaya perairan melalui penangkapan
dan budidaya. Dengan luas laut 5,8 juta km2, perairan Indonesia
diperkirakan memiliki potensi lestari ikan laut sebesar 6,4 juta ton pertahun.
Potensi tersebut terdiri dari ikan pelagis besar 1,65 juta ton, ikan pelagis
kecil 3,6 juta ton, ikan demersal 1,36 juta ton, ikan karang 145 ribu ton,
udang peneid 94,8 ribu ton, lobster 4,8 ribu ton, dan cumi-cumi 28,25 ribu ton
(Dahuri, 2003).
Masalah
utama yang dihadapi perikanan tangkap pada umumnya adalah menurunnya hasil
tangkapan yang disebabkan oleh : (1) eksploitasi berlebihan (overfishing)
terhadap sumberdaya perikanan; dan (2) degradasi kualitas fisik, kimia dan
biologi lingkungan perairan (Dahuri et
al.,2001). Untuk menjamin Maximum Sustenaible Yield di suatu
perairan serta dalam rangka pemenuhan
jumlah permintaan akan ikan, maka diperlukan adanya kegiatan budidaya.
Menurut
Widodo dalam siahaan (2002), suatu langkah yang dilakukan untuk mengembangkan
perikanan adalah mengetahui secara umum keadaan perikanan suatu daerah,serta
mengetahui permasalahannya sehingga dapat memberikan informasi dalam upaya
pengembangan perikanan. Selain dalam rangka pemamfaatan sumberdaya perikanan
dan kelautan demi kebutuhan masyarakat akan ikan dan sumberdaya laut
lainnya,usaha perikanan juga dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan nelayan
dan petani ikan yang berkehidupan dari pemamfaatan sumberdaya perikanan dan
kelautan. Salah satu alternative lain untuk bidang perikanan selain penangkapan
juga dikembangkan budidaya. Susanto (2001) menyatakan budidaya perikanan
merupakan usaha manusia untuk memperoleh pertumbuhan yang optimal.
Untuk
Sumatera Utara pada masa kini, potensi perikanan belum dimanfaatkan secara
optimal, walaupun produksi dan jumlah alat tangkap terus maningkat. Dengan
demikian peluang untuk meningkatkan hasil dan produktifitas usaha perikanan
sangat memungkinkan. Melalui wilayah pengembangan
perikanan diharapkan produktifitas usaha perikanan dapat dioptimalkan (Dinas
Perikanan dan Kelautan Sumatera Utara, 2007).
Daya
tarik wilayah pesisir untuk wisatawan adalah keindahan dan keaslian lingkungan,
seperti misalnya kehidupan di bawah air, bentuk pantai (gua-gua, air terjun,
pasir dan sebagainya), hutan-hutan pantai dengan kekayaan jenis tumbuhannya,
burung-burung dan hewan lain. Keindahan dan keaslian lingkungan ini menjadikan
perlindungan dan pengelolaan merupakan bagian dari rencana pengembangan
pariwisata (Dahuri 2003). Dalam seluruh kegiatan
pelaksanaannya diharapkan masyarakat pesisir dapat meningkatkan taraf hidupnya.